Paradigma Pembangunan yang tepat diterapkan untuk Indonesia ?
Paradigma pembangunan pada
suatu waktu tertentu dipergunakan sebagai acuan pada proses pembangunan bangsa
di suatu negara, sebagai upaya meningkatkan kualitas pembangunannya.
Peningkatan kualitas pembangunan yang benar-benar berorientasi untuk
peningkatan kualitas hidup manusia dan kepentingan kesejahteraan rakyat
merupakan salah satu perwujudan good governance yang diagendakan dalam
reformasi birokrasi pemerintah. Untuk mewujudkan good governance diperlukan
kapebiltas aparatur birokrasi pemerintah yang berarti keberhasilan pembangunan
tidak terlepas dari pengaruh kualitas kemampuan (kapabelitas) aparatur
birokrasi pemerintah dalam pelaksanaan tugas, bertanggungjawab
(responsibility), baik tanggungjawab obyektif (objective responsibility) maupun
tanggungjawab subyektif (subjective responsibility). Di samping
kapabelitas
aparatur birokrasi pemerintah, diperlukan pula terdapatnya keseimbangan
aktualisasi peran elemen-elemen “trias politica” baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif yang berarti tidak adanya dominasi peran atau lemahnya peran
dari ketiga elemen trias politica secara tidak seimbang dan didukung penerapan
“desentralisasi” yang proporsional dalam sistem pemerintahan.
Dalam konteks Indonesia
yang notabenenya adalah Negara berkembang, Paradigma yang tepat diterapkan
menurut saya adalah Paradigma Pembangunan ekonomi social yang diselaraskan
dengan Paradigma Psiko-dinamika.
Karena kondisi yang di
alami sekarang Indonesia Menerapkan paradigma pertumbuhan yang dimana tolak
ukur keberhasilan di lihat dari angka pendapatan per kapita penduduk indonesia.
Yang Menjadi permasalahan kemudian, bahwa meskipun setiap tahunnya income
perkapita penduduk bertambah akan tetapi dalam hal pemerataan pembangunan
ekonomi itu masih tidak bias dikatakan berhasil karena yang terjadi kemudian
bahwa pendapatan perkapita bertambah krn orang kaya/ konglomerat di Indonesia
semakin bertambah kekayaannya akan tetapi kalangan semakin terpuruk… Oleh
Karena itu ada yang salah dalam model pembangunan seperti ini.
Hal inilah menjadi sebuah
landasan paradigma pembangunan ekonomi social muncul. Kemudian kondisi lainnya
bangsa Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan generasi penerus
yang memiliki wawasan dan kapabilitas untuk membangun negeri ini kedepannya.
Mind-set yang selama ini tertanam pada sebagian masyarakat Indonesia terutama
kalangan bawah adalah bagaimana hari ini mereka dapat hidup dengan segala cara, salah satunya dengan
mempekerjakan anak mereka tanpa memperdulikan lagi pendidikannya. Kemudian
berdasar pada realita tersebut paradigm psiko-dinamika muncul untuk menjawab
kondisi tersebut.
Berikut adalah penjelasan
mengenai paradigma pembangunan ekonomi social dan psiko-dinamika :
1. Paradigma
Pembangunan Ekonomi
KETIMPANGAN (disparitas) merupakan
persoalan klasik dalam desain pembangunan. Hal itu tidak hanya dialami
Indonesia, melainkan juga negara-negara berkembang lain
Ketimpangan pendapatan ekonomi akan memunculkan sejumlah persoalan seperti kecemburuan sosial,arus urbanisasi, kejahatan perkotaan, degradasi kualitas hidup desa dan kota,hingga soal-soal politik. Indonesia dan sejumlah negara berkembang lain pernah mengalami dampak negatif rasa ketidakadilan sosial, yaitu saat krisis multidimensi 1997–1998.
Krisis keuangan menjelma menjadi krisis sosial dan ekonomi karena perasaan tidak adil terhadap akses dan kepemilikan sumber daya ekonomi nasional. Penjarahan terjadi di beberapa kota akibat rasa ketidakadilan masyarakat di tingkat akar rumput (grass-root). Oleh karena itu, desain pembangunan ekonomi menjadi penting untuk diprioritaskan. Bagaimana mengurangi ketimpangan dan kesenjangan tidak hanya antara kaya dan miskin, melainkan juga kesenjangan antardaerah dan antarsektor produksi?
Kita perlu satu desain besar pembangunan ekonomi
yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, melainkan juga melihat ukuran pemerataan
dan distribusinya. Mungkin kita perlu merenungkan lebih serius tentang no
sustainable growth without distribution. Tidaklah mengherankan
apabila penajaman dan ukuran lain dibutuhkan untuk mengurangi rasa
ketidakadilan sosial lapisan paling terpinggirkan.
Rasa keadilan menjadi sorotan banyak akademisi, termasuk John Rawls yang melihat bahwa justice as fairness. Adil tidak harus sama rata sama rasa, tetapi ada perlakuan yang fair dalam distribusi pembangunan ekonomi di setiap lapisan masyarakat (UMKM, pengusaha lokal, pengusaha asing), kawasan (Jawa dan non-Jawa),dan sektoral (pertanian, kelautan, pertambangan, manufaktur, dan lain-lain).
Pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang masih menjadi target capaian utama pemerintah semakin dituntut untuk berkeadilan sosial melalui pemerataan perekonomian di desa dan di kota, di luar Pulau Jawa dan di dalam Pulau Jawa. Kita bisa melakukan introspeksi pertumbuhan dan pemerataan pada periode 1999–2009 dibandingkan periode sebelumnya.
Rasa keadilan menjadi sorotan banyak akademisi, termasuk John Rawls yang melihat bahwa justice as fairness. Adil tidak harus sama rata sama rasa, tetapi ada perlakuan yang fair dalam distribusi pembangunan ekonomi di setiap lapisan masyarakat (UMKM, pengusaha lokal, pengusaha asing), kawasan (Jawa dan non-Jawa),dan sektoral (pertanian, kelautan, pertambangan, manufaktur, dan lain-lain).
Pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang masih menjadi target capaian utama pemerintah semakin dituntut untuk berkeadilan sosial melalui pemerataan perekonomian di desa dan di kota, di luar Pulau Jawa dan di dalam Pulau Jawa. Kita bisa melakukan introspeksi pertumbuhan dan pemerataan pada periode 1999–2009 dibandingkan periode sebelumnya.
Hal ini berguna untuk menambah pemahaman terhadap kesesuaian antara arah pembangunan kita selama beberapa periode sebelumnya dan yang akan datang. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa ukuran seperti inflasi, pertumbuhan, koefisien gini, dan lain-lain.
Walaupun pada periode sebelum tahun 1999 pemerintah menyusun rencana pembangunan jangka panjang tahap satu dengan merangkai lima periode rencana pembangunan lima tahun,ukuran yang dipakai oleh pemerintahan setelah 1999 sampai sekarang masih berhubungan. Pada data tentang inflasi misalnya, respons masyarakat atas inflasi tertentu akan berbeda bagi kelompok masyarakat menengah ke atas dan menengah ke bawah.
Ukuran inflasi secara agregat jelas mengabaikan realitas kesulitan hidup masyarakat di tingkat bawah. Sementara itu, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja juga perlu dilihat lebih dalam lagi. Jangan sampai pertumbuhan tinggi hanya dikontribusikan oleh sektorsektor padat modal dan teknologi sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi minim.
Karena itu sangat dibutuhkan keberpihakan pemerintah dan legislatif baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk mengangkat masyarakat yang sekarang ini terpinggirkan menjadi pelaku aktif ekonomi daerah maupun nasional. Program-program pembinaan dan dukungan pendanaan bagi UMKM perlu ditingkatkan. Selain itu juga sinergi antara perusahaan besar-menengah-kecil juga perlu diperkuat demi menciptakan basis industri yang kuat dan efisien.
Keterlibatan masif masyarakat dalam kegiatan ekonomi diharapkan dapat mengurangi rasa ketidakadilan sosial dalam pembangunan ekonomi. Melihat angka koefisien gini dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, kita dapat menyimpulkan bahwa belum ada perbaikan untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), maka pada tahun 1965–1970 pertumbuhan ekonomi di Indonesia rata-rata 2,7 persen dan koefisien gini sebesar 0,35. Berikutnya pada tahun 1971–1980 pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen dan koefisien gini 0,4; tahun 1981–1990 pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,4 persen dan koefisien gini sebesar 0,3.
Adapun koefisien gini tahun 1998 sebesar 0,32; 1999 0,33; 2002 0,33, 2004 0,32; 2006 0,36; serta 2007 0,37. Memperhatikan data di atas ini, pembangunan ekonomi nasional kita masih perlu lebih fokus untuk mengurangi rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial. Dengan demikian,kita dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas demi mayoritas bangsa Indonesia.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berkalikali menyampaikan komitmen untuk lebih menekankan aspek keadilan dan pemerataan dalam pembangunan nasional. Konsekuensi dari target yang ingin dicapai Presiden SBY ini adalah ukuran kinerja ekonomi perlu melihat lebih dalam lagi, terutama usaha dan strategi untuk mengurangi ketimpangan sosial yang selama ini terjadi.
Lantas bagaimana? Tentu saja dengan melibatkan sebanyak mungkin orang di dalam pembangunan ekonomi dan menghindari kecemburuan yang dapat mengkristal menjadi persoalan yang bisa menghambat pencapaian target kesejahteraan nasional.
Di kutip dari
2. Paradigma
Psiko-Dinamika
Paradigma ini mencoba mencari factor
penyebab keberhasilan atau kegagalan pembangunan dari factor internal atau mikro-individual, yaitu pada kepribadian
atau jati diri manusia. Paradigma ini berpendapat bahwa kepribadian manusia
yang terbentuk pada usia dini seseorang, utamanya pada usia balita, relative
konstan dan tidak dapat berubah lagi.
Paradigm
psiko-dinamika menurut Mc. Clelland
Factor mikro individual
adalah factor internal psikologis yang disebut sebagai acievment motivation
atau need for achievement atau N-ach. Achievement motivation adalah dorongan
yang amat kuat untuk berprestasi, untuk mencapai sesuatu bukan karena kepuasan
yang diperoleh oleh benda yang dapat dicapai tadi, akan tetapi kepuasan yang
diperoleh tadi dari inner feeling of personal accomplishment.
Mc. Clelland berpendapat
bahwa adanya konsentrasi yang tinggi dari orang-orang yang mempunyai
achievement motivation disuatu Negara merupakan penyebab utama mengapa suatu
Negara berhasil membangun. Untuk membuktikan pendapatnya, dia melakukan
penelitian. Dari hasil penelitiannya menimpulkan bahwa :
a.
Ada
hubungan keberhasilan pembangunan dengan banyaknya orang-orang yang mempunyai
N-ach.
b.
N-ach
bukanlah sifat herediter (yang diturunkan dari orang tuanya )
c.
N-ach
terbentuk pada usia dini sebagai hasil pendidikan orang tua dan lingkungan
keluarga
d.
Dengan
demikian, keluarga merupakan key formative influence dalam pembentukan pribadi
yang mempunyai N-ach
e.
Karna
kualitas keluarga dibanyak Negara berkembang kurang mendukungnya terbentuknya
N-ach maka generasi yang punya N-ach baru akan terbentuk pada generasi
mendatang
f.
Untuk
mempercepat terbentuknya orang yang mempunyai N-ach, dia mengusulkan dua hal
yaitu : memisahkan balita dari keluarganya dan menempatkan pada asrama-asrama
yang lingkungannya kondusif untuk pembentukan N-ach yang tinggi. Yang kedua
adalah mendidik para ibu-ibu untuk dapat mendidik balitanya secara benar dan
meningkatkan peranan pendidikannya.
Paradigma
Psiko-dinamika menurut Everett Hagen
Menurut
Hagen ada tiga kebutuhan psikologis manusia yaitu :
1.
Manipulative
Needs
Kebutuhan
yang dapat dipuaskan dengan memanipulasikan lingkungan atau mengubah
lingkungan. Terdiri dari keinginan untuk mencapai yang lebih baik, keinginan
untuk mencapai keputusan secara mandiri dan kebutuhan untuk memahami peristiwa
yang terjadi.
2.
Agreesive
needs
Kebutuhan yang terpuaskan dengan
menyerang apa dipandang mengancam, yakni kebutuhan untuk menyerang, kebutuhan
menerima arahan, dan kebutuhan untuk menguasai orang lain.
3.
Passive
Needs
Merupakan kebutuhan untuk bersikap
pasif, yang terdiri dari kebutuhan untuk bergantung pada orang lain, dan
kebutuhan untuk bergaul dan bersahabat dengan orang lain.