Rabu, 04 April 2012

Etika Birokrasi

,
ETIKA BIROKRASI
Etika merupakan kesediaan jiwa akan kesusilaan atau kumpulan dari peraturan kesusilaan. Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakan tindakan bermoral. Sesuai dengan moralitas dan perilaku masyarakat setempat.
Etika sendiri dibagi lagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkup kehidupannya. Dibedakan antara etika individual yang mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan, melalui suara hati, terhadap Illahi, dan etika sosial. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan makhluk sosial.
Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk misalnya kewajiban-kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, masalah pengguguran isi kandungan dan etika seksual, tetapi juga norma-norma moral yang berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga seperti etika keluarga, etika pelbagai profesi, dan etika pendidikan. Dan di sini termasuk juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan manusia.
Dimensi politis manusia adalah dimensi masyarakat sebagai keseluruhan. Ciri khasnya adalah bahwa pendekatan itu terjadi dalam kerangka acuan yang berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan. Dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindak-tanduknya.
Etika birokrasi berkaitan erat dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri yang tercermin dalam fungsi pokok pemerintahan: fungsi pelayanan, pengaturan/regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat.
Etika penting dalam birokrasi. Pertama, masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin komplek. Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Birokrasi melakukan adjusment (penyesuaian) yang menuntut discretionary power (kekuatan pertimbangan/kebijaksanaan) yang besar.
Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat harus dipedomani serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu dipraktekkan secara operasional antara lain:
 Aparat wajib mengabdi kepada kepentingan umum
 Aparat adalah motor penggerak “head“ dan “heart“ bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
 Aparat harus berdiri di tengah-tengah, bersikap terbuka dan tidak memihak (mediator)
 Aparat harus jujur, bersih dan berwibawa
 Aparat harus bersifat diskresif, bisa membedakan mana yang rahasia dan tidak rahasia, mana yang penting dan tidak penting
 Aparat harus selalu bijaksana dan sebagai pengayom.

Berbagai sifat psikis, kepribadian (jatidiri), harga diri, kejujuran yang diisyaratkan oleh teori sifat pada hakikatnya merupakan kode etik bagi siapapun yang akan bertugas sebagai aparat. Aparat seyogyianya tidak bekerja terkotak-kotak, menganggap dialah yang penting atau menentukan, seharusnya aparatur bekerja secara menyeluruh. Oleh sebab itu tidak hanya mementingkan bidangnya sendiri-sendiri. Dalam kaitan itu dipandang penting pula koordinasi, sinkronisasi, integrasi. Sehingga dapat berbuat dan bertindak sesuai dengan tingkah laku dan perilaku aparatur yang terpuji.
Etika terbentuk dari aturan pertimbangan yang tinggi. Yaitu benar vs tidak benar dan pantas vs tidak pantas. Prilaku dan tindakan aparat birokrasi dalam melaksanakan fungsi dan kerjanya, apakah ia menyimpang dari aturan dan ketentuan atau tidak, untuk itu perlu aturan yang tegas dan nyata, sebab berbicara tentang etika biasanya tidak tertulis dan sanksinya berupa sanksi sosial yang situasional dan kondisional tergantung tradisi dan kebiasaan masyarakat tersebut. Maka dituntut adanya payung hukum.
Peraturan kepegawaian sebagai bagian dari penerapan etika birokrasi. Peraturan ini tertuang dalam Kode Etik Pegawai Negeri. Akan tetapi kode etik ini belum kentara hasil dan fungsinya. Namun, dengan kode etik ini mengupayakan aparat birokrasi yang lebih jujur, bertanggung jawab, disiplin, rajin, memiliki moral yang baik, tidak melakukan perbuatan tercela seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, perlu usaha dan latihan serta penegakan sanksi yang tegas dan jelas kepada mereka yang melanggar kode etik atau aturan yang ditetapkan.
Ada beberapa hal yang perlu dihindari oleh birokrasi, antara lain :
• Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan,
• Menerima segala sesuatu hadiah dari pihak swasta pada saat ia melakukan transaksi untuk kepentingan dinas,
• Membicarakan masa depan peluang kerja diluar instansi pada saat ia berada dalam tugas-tugas sebagai pejabat pemerintah,
• Membocorkan informasi komersial/ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak,
• Terlalu erat berurusan dengan orang-orang diluar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung izin pemerintah.

Selain itu, ada beberapa upaya untuk membenahi praktek-praktek birokrasi yang kurang menyenangkan, antara lain:
Pembenahan suatu institusi yang telah berpraktek dalam jangka waktu lama tidaklah gampang. Waktu yang cukup lama mutlak diperlukan. Yang cukup penting dimiliki adalah perilaku adaptif dari birokrasi terhadap perkembangan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga mampu membaca tuntutan dan harapan yang dibebankan ke pundaknya. Suatu komuniti yang semakin kompleks dan rumit memerlukan bentuk-bentuk praktek birokrasi yang luwes dan praktis. Pemotongan jalur-jalur hirarkis, merupakan salah satu keinginan dari konsumen birokrasi.
Faktor mental personal dari aparatur birokrasi dan perilaku dari birokrat itu sendiri. Dituntut adanya keberanian moral untuk menyingkirkan pandangan bahwa birokrasi adalah bureaucratic polity.
Jika kita ingin menelusuri lebih jauh penyebab dari tindakan yang berorientasi KKN paling tidak dapat saya singgung 3 (tiga) aspek besar, yaitu:
1. Etika moral birokrasi pemerintahan yang masih sangat rendah
Sebagai bangsa yang religius seharusnya tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh birokrasi pemerintahan dapat dihindari. Namun demikian, kenyataan membuktikan lain. Birokrasi pemerintah, mulai dari tingkat elit sampai pada aparatur di tingkat bawah memiliki kecenderungan yang sama untuk berperilaku KKN. Yang berbeda hanyalah porsi atau caranya saja. KKN berawal dari keserakahan materi dan berkembang menjadi kelainan-kelainan yang sifatnya bukan lagi kebendaan. Selain perilaku korup, keserakahan ini juga menyuburkan berbagai bentuk persekongkolan jahat (kolusi) yang hanya menguntungkan kelompok tertentu dengan mengorbankan kepentingan negara. Demikian pula proses nepotisem yang terjadi telah mengakibatkan banyak permasalahan yang tidak lagi mampu diatasi oleh birokrasi pemerintah sendiri.
Penyakit KKN yang melingkupi birokrasi dewasa ini tidak lagi berkaitan dengan tingkat pendidikan. Hal ini terlihat bahwa pada aparatur yang telah memiliki tingkat pendidikan di atas rata-rata, kecenderungannya untuk melakukan KKN justru semakin mewabah.

Banyak pemikiran-pemikiran di lingkungan elit birokrasi pemerintah menjadi terjungkirbalik untuk memberikan pembenaran terhadap perilaku KKN yang dilakukan. Dengan demikian, setiap kebijakan yang lahir akan cenderung menjelma menjadi sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Orang-orang yang masih waras, yang jiwa dan mindset-nya masih belum terjangkit KKN, tidak bisa mengerti bagaimana mungkin orang-orang yang pendidikan dan jabatannya begitu tinggi memakai pengetahuan dan jabatannya untuk merumuskan kebijakan yang sangat merugikan orang banyak dan sangat tidak adil. Dalam membela kebijakannya, ilmu pengetahuan dipakai untuk berargumentasi tanpa alur pikir yang jernih dan tanpa argumentasi, tetapi mengemukakan dalil-dalil yang digebrak-gebrakkan di atas meja diskusi.
2. Rendahnya gaji pegawai negeri
Dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok - pokok Kepegawaian dinyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Adapun yang dimaksud dengan gaji adil dan layak adalah bahwa gaji PNS tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, sehingga PNS dapat memusatkan perhatian, pikiran, dan tenaganya dalam melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Amanat UU 43/1999 ini belum dilaksanakan secara sungguh- sungguh. Betapa reformasi birokrasi akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteran pegawai negeri (termasuk TNI dan Polri).
Pegawai negeri adalah manusia, dan memiliki hak asasi untuk hidup layak. Oleh karena itu, adalah tidak adil dan tidak manusiawi bila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja.
Rendahnya kinerja birokrasi tentu sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan mereka yang rendah yang mempengaruhi semangatnya untuk bekerja dengan baik. Bahkan sejak awalnya pegawai negeri tanpa sadar telah terdorong untuk menciptakan tambahan kesejahteraan dengan mensiasati hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan dan tugasnya.
3. Kurangnya keteladanan dari pimpinan
Perilaku KKN yang telah mendarahdaging di lingkungan birokrasi pemerintah mulai dari elit sampai pada level yang paling bawah. Pada level atas, keserakahan dan gaya hidup konsumeristik telah mendorong mereka melakukan tindakan di luar kepatutan. Dengan pola hidup mewah namun dengan penghasilan yang jauh dari mencukupi, mengakibatkan banyak sekali birokrat, secara sadar ataupun tidak, telah menggadaikan jabatannya agar kebutuhan komsumtif mereka dapat terpenuhi. Sedangkan pada level bawah, kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan membayar utang, kebutuhan pengobatan, kebutuhan untuk membiayai pendidikan anak-anak dan lainnya merupakan bentuk-bentuk dorongan bagi aparat yang berpenghasilan kecil dalam melakukan KKN. Pertanyaan “siapa yang harus memberantas KKN” menjadi kabur. Dengan kondisi ini, pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah yang dapat menjadi panutan menjadi semakin langka.
KKN sudah membuat beberapa elit bangsa kita tidak lagi dapat berpikir secara waras. Nalarnya jungkir balik dan tanpa sadar menyatakannya di mana-mana hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal. Kalau perilaku elit birokrasi pemerintah tersebut di atas terus menerus terjadi dan tidak ada shock teraphy sedini mungkin, maka sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia tidak mungkin keluar dari permasalahan yang dihadapinya dewasa ini. Pemikiran yang paling ekstrim lagi kalau keadaan ini terus berlanjut, maka tidak tertutup kemungkinan Indonesia di masa mendatang akan seperti Uni Sovyet yang hanya dapat ditemukan kembali dalam buku-buku sejarah
Birokrasi hendaklah merupakan rangkaian kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara-cara yang telah ditentukan dan dianggap sebagai tugas resmi. Diorganisasikan dalam suatu kantor yang mengikuti prinsip hirarkis. Pelaksanaan tugasnya diatur oleh suatu sistem peraturan perundang-undangan yang abstrak dan mencakup juga penerapan aturan-aturan di dalam kasus-kasus tertentu. Dilaksanakan oleh pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat formal dan bersifat pribadi, tanpa perasaan dendam atau nafsu.
Birokrasi sebagai bagian law enforcement perlu direformasi dengan dimensi keadilan. Hal yang diperlukan adalah: menuntaskan “national building“, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga, membangun aturan hukum secara komprehensif serta membangun moralitas aparat penegak hukum.

Kultur Birokrasi dan Optimalisasi Pelayanan Publik

Kultur birokrasi yang seharusnya lebih menekankan pada pelayanan publik masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara efektif oleh birokrasi di Indonesia. menurut Dwiyanto (2002) secara struktural kondisi tersebut merupakan implikasi dari sistem politik Orde Baru yang menempatkan birokrasi tidak lebih dari sekedar instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan publik. Sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan akar sejarah kultural feodalistik birokrasi yang mengakar dalam budaya Indonesia. Seperti masih banyak terlihat diadopsinya kultur budaya priyayi yang sangat paternalistik.

Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus dihormati oleh masyarakat. Menurut Dwiyanto (2002), hal ini kemudian membuat birokrasi tidak merasa berkewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan, melainkan justru masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti keinginan birokrasi.

Birokrasi menjadi sebuah institusi yang seolah tidak mau mendengar dan melihat serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan kepentingan publik. Birokrasi kemudian seolah menjadi kekuatan besar yang tidak ada kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Netralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai mitra birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Patologi (penyakit) birokrasi muncul karena norma dan nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi telah berorientasi ke atas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Berbagai kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitive terhadap nilai, aspirasi dan kebutuhan, dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap kondisi masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

. Koordinasi menjadi sebuah kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan publik melibatkan beberapa bidang dan instansi. Lemahnya pembentukan semangat kerja seringkali membuat aparat birokrasi enggan, atau bahkan tidak dapat mengerjakan tugas di luar tugas rutinnya, sehingga kemacetan pelayanan seringkali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat pengguna jasa pula yang akhirnya banyak dirugikan.

Wajar saja ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan, demonstrasi besar-besaran kadang terjadi. Karena pada dasarnya kebijakan yang di buat terkadang tidak memperhatikan semua sektor dan kalangan, sang penguasa terkesan menutup mata kepada mereka yang di bawah dan terus-menerus menjadi ekor yang di bayangi bangsa asing. Indonesia membutuhkan pemimpin yang betul-betul berani (berani bukan terhadap rakyat kecil tetapi kepada para penjajah kekayaan bangsa) dan menghargai tanah air Indonesia, bukan malah menghargai perut sendiri menindas kaum lemah dan menggadaikan ibu pertiwi ke tangan asing. andiazhar (2012)



*SEKIAN & TERIMA KASIH*

0 komentar to “Etika Birokrasi”

Posting Komentar