Rabu, 02 Januari 2013

MK Formulasi Kebijakan (oleh : Sutrisno Absar)

,

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, unsur pendidikan sangat penting demi kelangsungan suatu Negara kedepannya.Pendidikan di anggap suatu hal yang sangat berpengaruh terhadap arah pengembangan suatu Negara serta karakter Negara kedepannya, serta sebagai symbol maju tidaknya suatu Negara.
            Dalam kehidupan Negara Republik Indonesia, system pendidikan juga telah mngusahakan ke suatu system pendidikan yang kompleks untuk kemajuan Republik tercinta ini. Telah ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa “….mencerdaskan kehidupan bangsa…..” Mengenai pendidikan juga telah ditekankan dalam berbagai produk Undang-undang yakni Undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional. Dalam bab II pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional yakni “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
            Apa yang terkandung dalam UUD 1945 serta produk-produk hukum lainnya terkonversi dalam salah satu kebijakan pemerintah yakni “wajib belajar 9 tahun”, pendidikan gratis dll. Kebijakan ini juga telah ditekankan dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 18 yakni “Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah”. Dalam kebijakan ini, dimana menekankan bahwa para penerus bangsa dalam hal ini anak-anak minimal harus menempuh pendidikan selama 9 tahun yakni dari tingkat dasar hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama. Apalagi ditambah dengan aturan pemerintah mengenai pengelolaan APBN bahwa 20% anggaran Negara itu tersalurkan untuk pendidikan. Jadi orang tua siswa yang kurang mampu tidak perlu membatalkan niatnya untuk menyekolahkan anaknya hanya karna permasalahan pembiayaan, karna dalam wajib belajar 9 tahun ini semua telah terwadahi.
Sungguh apresiasi yang sangat besar patut diberikan terhadap kebijakan “wajib belajar 9 tahun” dan pendidikan gratis ini secara konsep teori. Namun, untuk kesekian kalinya semua hanya berteori tidak ada implementasi kebijakan efektif yang terjadi dilapangan. Karna kebijakan ini, seakan-akan diikuti oleh premis tambahan yakni wajib belajar 9 tahun “bagi yang mampu”. Bagaimana tidak, mulai dari sabang sampai merauke, mulai dari pelosok desa sampai kota, masih banyak anak-anak yang seharusnya sekolah baik itu tingkat dasar (SD) ataupun tingkat menengah pertama (SMP) harus membatalkan niatnya untuk mengenyam pendidikan dan memilih untuk mencari nafkah. Ataupun, walaupun ada diantara mereka yang sekolah ternyata masih ada lagi “pungutan liar”, entah itu untuk pembayaran buku atau semacamnya dan entah itu perilaku oknum guru ataupun pejabat diatasnya. Terus dimana anggaran Negara 20% untuk pendidikan itu, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang notabene membantu operasional sekolah. Dimana dan bagaimana proses implementasi kebijakan itu, apakah selama ini kebijakan wajib belajar 9 tahun ini hanya suatu kebijakan fiktif untuk menghabiskan 20 % anggaran Negara. Terus sampai kapan mereka (anak-anak) harus mengubur impian mereka untuk mengenyam pendidikan dan tanpa pungutan liar untuk mencapai cita-cita mereka.
           





BAB II
TEORISASI
Model – Model Formulasi Kebijakan Publik menurut Thomas R. Dye (dalam Nugroho,2003:108) dibagi dalam sembilan model formulasi sebagai berikut :
1. Model Kelompok :
Model pengambilan kebijakan teori kelompok mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan ( equilibrium ). Inti gagasannya adalah interaksi didalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan kesimbangan adalah yang terbaik. Disini individu didalam kelompok-kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntunnya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan.
Model teori kelompok sesungguhnya merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang didalamnya beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif.
2. Model Kelembagaan :
Formulasi kebijakan model kelembagaan secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas pemerintah. Jadi apapun yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apapun adalah kebijakan publik. Ini adalah model yang paling sempit dan sederhana didalam formulasi kebijakan publik. Model ini mendasarkan kepada fungsi-fungsi kelembagaan dari pemerintah, disetiap sector dan tingkat didalam formulasi kebijakan.
3. Model Elit :
Model teori elit berkembang dari teori politik elit-massa yang melandaskan diri pada asumsi bahwa didalam setiap masyarakat pasti terdapat dua kelompok yaitu pemegang kekuasaan atau elit dan yang tidak memiliki kekuasaan atau massa. Teori ini mengembangkan diri pada kenyataan bahwa sedemokratis apapun selalu ada bias didalam formulasi kebijakan karena pada akhirnya kebijakan-kebijakan yang dilahirkan merupakan preferensi politik dari para elit.
4. Model Sistem :
Pendekatan ini pertama kali oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara makluk hidup dengan lingkungannya yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam terminologi ini Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Dalam pendekatan ini dikenal tiga komponen yaitu : input, proses dan output. Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan pemerintah.
5. Model Rasional :
Model ini mengatakan bahwa prose formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Dengan kata lain model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.
6. Model Inkrementalis :
Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model pragmatis atau praktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Sementara itu pengambil kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul disekitarnya. Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan dimasa lalu dengan beberapa modifikasi seperlunya, pilihan ini biasanya dilakukan oleh pemerintahan yang berada di lingkungan masyarakat yang pluralistic yang membuatnya tidak mungkin membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh warga.
7. Model Teori Permainan :
Model ini biasanya di-cap sebagai model konspiratif. Gagasan pokok dari kebijakan dalam model ini adalah formulasi kebijakan berada didalam situasi kompetisi yang intensif, para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen melakukan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau independen.
Konsep kunci dari teori permainan dalah strategi dimana konsep kuncinya bukanlah yang paling optimum namun yang paling aman dari serangan lawan. Jadi dasarnya konsep ini mempunyai tingkat konservatifitas yang tinggi karena pada intinya adalah strategi defensif.
8. Model Pilihan Publik :
Model kebijakan ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar kebijakan ini sendiri berakar dari teori ekonomi pilihan publik (economic of publik choice) yang mengandalkan bahwa setiap manusia adalah homo ecnomicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan. Prinsipnya adalah buyer meet seller, supply meet demand.
9. Model Proses
Didalam model ini para pengikutnya menerima asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktifitas sehingga mempunyai proses. Untuk itu kebijakan publik merupakan juga proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan berikut : Menata agenda formulasi kebijakan, Perumusan proposal kebijakan, Legitimasi kebijakan, Implementasi kebijakan, Evaluasi kebijakan.
BAB III
Rekomendasi/Penutup

            Program “wajib belajar 9 tahun” dan pendidikan gratis yang dilakukan pemerintah Indonesia, masih belum menemukan titik idealnya. Hal ini bisa saja terjadi karna ketidaktepatan dalam perumusan atau formulasi kebijakan program wajib belajar 9 tahun dan pendidikan gratis ini, maka dari itu mengacu pada model-model dalam formulasi kebijakan, penulis beranggapan bahwa model yang paling tepat digunakan untuk merumuskan kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia adalah model rasionalis.
            Karna berbicara mengenai rasionalis berarti menekankan pada hasil kebijakan yang telah dirumuskan sudah melewati tahap rasionalitas dalam artian telah dilakukan perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai sehingga berdampak pada efisiensi atau aspek ekonomis.
            Penulis lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis karna melihat kebijakan-kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia terlalu mengeluarkan biaya yang boros tetapi kurang efektif, biaya harus sebanding dengan hasil yang dicapai. Seperti misalnya kebijakan yang mendampingi wajib belajar 9 tahun ini adalah kebijakan akan anggaran pendapatan belanja untuk pendidikan sebesar 20 %, namun hasil yang dinginkan yakni kualitas pendidikan di Indonesia belum bisa tercapai.
            Sebelum membuat sebuah alternative kebijakan, harus ada perumusan masalah, menurut william dunn terdiri dari empat bagian yakni: situasi masalah, meta masalah, masalah substantif, dan masalah formal.
1.    Situasi Masalah
·         Lemahnya kualitas pendidikan di Indonesia
2.    Meta masalah
·         Kurang berkompetennya tenaga pengajar di Indonesia, tenaga pengajar berorientasi pada gaji,
·         Adanya politisasi dalam pendidikan, unsure politik sudah merambah ke dunia pendidikan,
·         Kurangnya minat untuk memperoleh pendidikan oleh masyarakat
·         Tidak meratanya pembangunan sekolah
3.    Masalah substantif
·         Kurang berkompetennya tenaga pengajar
·         Adanya politisasi dalam pendidikan
4.    Masalah formal
·         Adanya politisasi dalam pendidikan
Dari perumusan masalah diatas, adanya unsure politik yang bermain dalam dunia pendidikan sehingga berdampak pada tidak berkompetennya tenaga pengajar, tidak meratanya pembangunan gedung-gedung sekolah karna “pembagian kue”, menimbulkan sikap apatisme masyarakat terhadap pendidikan dan menimbulkan situasi masalah lemahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
Setelah merumuskan apa yang menjadi masalah formal atau akar dari situasi masalah, beranjak kepada alternative kebijakan. Dalam proses pemilihan alternatif kebijakan menjadi suatu kebijakan, berdasarkan model rasionalis ada beberapa kriteria yang menjadi bahan pertimbangan yakni technical feasibility (efektifitas tujuan), economic and financial (efisiensi dan hasil), political viability (efek politiknya atau tingkat diterimanya oleh masyarakat), dan yang terakhir administratif operability ( besar kemungkinan dilaksanakan). Dari kriteria tersebut akan memberikan angka tertentu dalam setiap penilaiannya terhadap alternatif-alternatif kebijakan yang ada.

Masalah :
            ”adanya unsure politik yang sudah merambah kedunia pendidikan”

Alternatif kebijakannya :
a.    Pendidikan etika dan Karakter bagi tenaga pengajar dan pejabat birokrasi yang terlibat dalam pendidikan serta siswa
b.    Peningkatan pemberian sanksi pada stakeholders yang terlibat
c.    Mutasi tenaga pengajar dan stakeholders saat ini
NO
Kriteria
Alternatif Kebijakan a
Alternatif Kebijakan b
Alternatif Kebijakan c
keterangan
1
Technical feasibility
3
2
2

2
Economic and finansial
2
4
2

3
Political viability
4
4
2

4
Administratif operability
4
2
2


Jumlah
13
12
8


Peringkat
I
II
III



Rekomendasi Kebijakan
Dari proses pemilihan  alternatif kebijakan di atas, berdasarkan kriteria alternatif kebijakan yang terpilih menjadi kebijakan adalah alternatif kebijakan a  yakni Pendidikan etika dan Karakter bagi tenaga pengajar dan pejabat birokrasi yang terlibat dalam pendidikan serta siswa”. Namun, menurut saya rekomendasi kebijakan ini harus jalan berdampingan dengan peningkatan pemberian sanksi kepada tenaga pengajar dan stakeholders serta pemberian reward yang tepat sasaran.
Dengan APBN untuk pendidikan sebesar 20 % dan didasari oleh rekomendasi kebijakan Pendidikan etika dan Karakter bagi tenaga pengajar dan pejabat birokrasi yang terlibat dalam pendidikan serta siswa”, saya berharap segala kebijakan mengenai sistem pendidikan di Indonesia seperti “wajib belajar 9 tahun”, pendidikan gratis dll, dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan hasil yang maksimal yakni meningkatnya kualitas pendidikan di Indonesia.












                                                                                                                       



Tugas
MK. Formulasi Kebijakan

“Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Pendidikan Gratis di Indonesia”






   Disusun Oleh :
SUTRISNO ABSAR (E211 10 259)


Jurusan Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
2012




Daftar Pustaka

Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi, Evaluasi. PT.Elex Media Komputindo. Jakarta.
http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/model-model-formulasi-kebijakan-publik.html

0 komentar to “MK Formulasi Kebijakan (oleh : Sutrisno Absar)”

Posting Komentar