Sejarah
Baru Terukir di Kampus Merah Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina, MA terpilih sebagai
Rektor Unhas Periode 2014-2018. Hal ini menjadikan Prof Dwia sebagai Rektor
pertama perempuan yang akan memimpin Unhas.
Beliau
terpilih setelah memenangkan pemilihan tingkat Senat universitas dengan
perolehan suara sebanyak 241 suara dari 287 suara senat yang hadir serta 155
suara Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, di Baruga AP. Pettarani Unhas, Senin
(27/1). Wakil Rektor IV tersebut mengalahkan dua kandidat lainnya yakni Dr. dr.
A. Wardihan Sinrang (128 suara) serta Prof. Dr. dr. Irawan Yusuf (71 suara). Selain itu 2 suara dianggap batal. Jadi total
suara keseluruhan adalah 442 suara dari 287 suara senat + 155 suara menteri.
Hasil pemilihan Di Gugat
Euforia
kemenangan telah di rasakan dan perasaan kecewa dengan kekalahan pun telah di
rasakan. itulah mungkin sedikit hipotesis awal kondisi masing calon pasca pemilihan rektor Universitas
hasanuddin.
Sejarah
baru terukir dan indikasi perpecahan di Unhas akan muncul. Asumsi awal adalah
hasil pemilihan rektor Unhas di gugat oleh salah satu calon yaitu Dr. dr.
Wardihan Sinrang. Salah satu alasan yang paling menjadi sorotan adalah 35%
suara menteri yang di anggap menodai Demokrasi kampus. Beberapa kalangan
beranggapan dan terkhusus para pendukung dari Dr. Wardihan bahwa suara menteri
sangat tidak mempertimbangkan hasil suara dari anggota Senat Unhas yang
menempatkan Dr. wardihan di urutan pertama sedangkan suara menteri bulat atau dominan kepada
Prof Dwia. Pada pemilihan putaran Di bulan Desember 2013 Dr. Wardihan Unggul 94 Suara, Prof Dwia 80 suara sementara Prof. Irawan 48 Suara. Oleh karena itu Suara Menteri sangat berperan besar dalam Pemilihan Rektor yang menempatkan Prof Dwia sebagai Rektor terpilih
Campur tangan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) dalam pemilihan Rektor/Ketua/Direktur Perguruan Tinggi
Negeri/Sekolah Tinggi/Akademi/Politeknik yang diselenggarakan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memang tertuang dalam Permendiknas Nomor 24 tahun
2010.
Dinamika
pemilihan rektor seperti ini bukan di Unhas pertama kali terjadi yang menempatkan peraih suara terbanyak kedua
di Anggota Senat sebagai pemenang di karenakan suara 35% Suara Menteri. Pernah
Pula terjadi di beberapa Universitas Di Indonesia.
Sejumlah
kalangan kemudian berpendapat mengenai hasil pemilihan rektor Unhas, ada yang
sepakat adapula yang menolak. Menurut hemat saya sendiri, bahwa menggugat
peraturan tentang 35% suara menteri sebelum pemilihan adalah sesuatu yang wajar
saja, tetapi jika menggugat peraturan 35% suara menteri pasca pemilihan justru
hanya menggambarkan ketidakkebesaran hati untuk menerima kekalahan. terlebih
yang menjadi motor penggerak gugatan ini adalah salah satu Guru Besar Fakultas
Hukum di Unhas. akhirnya muncul pandangan bahwa tidak salah peraturan itu di
gugat tetapi waktunya yang salah.
Pemilihan Rektor dan Politik
Kampus
Mendikbud
Mohammad Nuh pernah mengatakan, dalam
mendistribusikan 35 persen suara pemerintah yang diwakili Mendikbud, ada tiga
opsi, yakni memberikan semua suara kepada salah seorang calon, membagi sama
rata, dan membagi sesuai proporsi. Ketika mendukung seorang calon, pemerintah
mempertimbangkan berbagai aspek, dari rekam jejak, visi, misi, program kerja,
prestasi, hingga aksesibilitas di kalangan internal dan wilayah.
Tentunya
salah satu hal positif jika peratutan 35% suara menteri dalam pemilihan rektor
di cabut yaitu murninya otonomi perguruan tinggi akan tetapi tetap mempunyai
dampak negatif yaitu dekatnya kampus pertarungan politik ala Pilkada yang
menggunakan segala cara untuk jadi pemenang tanpa memperhatikan lagi integritas
dan kapabilitas dari calon pemimpinnya.
Tentu
saja Pemerintah sebagai penyelenggara dan penanggung jawab terhadap sistem
pendidikan di Indonesia dalam hal ini perguruan tinggi tidak akan serta merta melepaskan Perguruan tinggi untuk mengurusi segala urusan kampusnya mulai dari
hal kecil sampai besar karena segala yang terjadi dan dicapai oleh Perguruan
Tinggi berimplikasi terhadapat Pemerintah dalam hal ini Kementerian pendidikan
dan Kebudayaan. Oleh karena itu kebijakan 35% suara menteri di anggap masih
relevan untuk dilaksanakan sejauh kebijakan tersebut disalurkan secara
bijaksana dan objektif.
Terkait
dengan pemilihan Rektor Unhas, memunculkan banyak gonjang ganjing di kalangan
Dosen, Mahasiswa, dan masyarakat. Mulai dari Prof Dwia yang merupakan Ipar dari
Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden Indonesia) yang selalu dikait-kaitkan dengan
pengaruh dari Figur Yusuf Kalla di perpolitikan Nasional untuk bisa mendapatkan
Suara Menteri kepada Iparnya. Rektor dari kalangan Medis yang memunculkan
anggapan bahwa Sektor Pembangunan infrastruktur di Unhas hanya terpusat di
wilayah Medis, serta mencari penerus rektor yang siap menjalankan visi jangka
panjang Unhas.
Di
Luar dari hasil pemilihan tersebut, ada satu hal yang sedikit menggelitik
mengenai pernyataan rektor Unhas yaitu Di antara 2 suara tidak sah, salah satunya adalah suaranya. Beliau mengatakan bahwa mencoblos ke tiganya karena hati nuraninya berat untuk memilih salah satunya.
Tentunya
hal ini bisa menjadi contoh buruk akan partisipasi politik dan kemapanan
seseorang dalam menentukan pilihan politik. Karena Seyogianya orang yang lahir
dari kampus tempatnya benih-benih intelektual lahir dan berkembang bisa
menentukan pilihan rasional untuk 1 orang. Bayangkan Jikalau sebagian besar
anggota Senat berpikiran sama dengan Rektor tercinta, angka Golput akan semakin
besar yang berakibat legalitas secara politik dari pemimpin terpilih menjadi
lemah. Jadi jangan salah jika dalam konteks Indonesia partisipasi politik sangat
kurang, di kampus saja Seorang Guru besar masih belum bisa menentukan pilihan
politiknya secara rasional untuk seseorang.
Unhas dan Visi jangka panjangnya
Rektor
baru telah terpilih dan akan dilantik pada bulan April. Unhas dengan visi
jangka panjang sesuai dengan rapat kerja Pusat Unggulan Dalam Pengembangan
Insani, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni dan Budaya Berbasis Benua Maritim
Indonesia. Yang lagi-lagi masih menimbulkan ambigu akan makna maritim yang
dimaksudkan.
Tapi
yang menjadi tugas dari sebuah perguruan tinggi adalah bagaimana melahirkan
orang-orang yang betul-betul siap untuk berkentribusi positif untuk bangsa dan
negara serta siap untuk melakukan perubahan di tengah buruknya kondisi
kenegaraan.
Semua
masalah yang terjadi di Unhas mulai dari masalah Kemahasiswaan, Infrastruktur,
Kualitas Dosen, Sistem pembelajaran, Akademik dan sebagainya menjadi Pekerjaan
Rumah yang cukup besar bagi Rektor terpilih demi membuktikan Akreditasi
"A' yang melekat pada Univesitas Hasanuddin bukan sekedar Label di atas
kertas tapi betul tercermin dari kualitas A seluruh Civitas Akademika
Universitas Hasanuddin. Iklim Akademik dan Kemahasiswaan harus menjadi pondasi,
bukan menjadi dua hal yang selalu dipertentangkan satu sama lain. Akhir kata
selamat untuk Rektor terpilih, Jabatan adalah tanggung jawab dan dekat dengan
dosa. Mari bersama membangun Bangsa dan Negara dari Unhas dan mari saling
membuka diri untuk menerima kritik dan saran.