Kamis, 30 Januari 2014

Rektor Perempuan Pertama Unhas dan 35% Suara Menteri Pendidikan

,
Oleh : AAzharM

Sejarah Baru Terukir di Kampus Merah Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina, MA terpilih sebagai Rektor Unhas Periode 2014-2018. Hal ini menjadikan Prof Dwia sebagai Rektor pertama perempuan yang akan memimpin Unhas.
Beliau terpilih setelah memenangkan pemilihan tingkat Senat universitas dengan perolehan suara sebanyak 241 suara dari 287 suara senat yang hadir serta 155 suara Menteri Pendidikan, Muhammad Nuh, di Baruga AP. Pettarani Unhas, Senin (27/1). Wakil Rektor IV tersebut mengalahkan dua kandidat lainnya yakni Dr. dr. A. Wardihan Sinrang (128 suara) serta Prof. Dr. dr. Irawan Yusuf (71 suara).  Selain itu 2 suara dianggap batal. Jadi total suara keseluruhan adalah 442 suara dari 287 suara senat + 155 suara menteri.
Hasil pemilihan Di Gugat

Euforia kemenangan telah di rasakan dan perasaan kecewa dengan kekalahan pun telah di rasakan. itulah mungkin sedikit hipotesis awal kondisi masing calon pasca pemilihan rektor Universitas hasanuddin.

Sejarah baru terukir dan indikasi perpecahan di Unhas akan muncul. Asumsi awal adalah hasil pemilihan rektor Unhas di gugat oleh salah satu calon yaitu Dr. dr. Wardihan Sinrang. Salah satu alasan yang paling menjadi sorotan adalah 35% suara menteri yang di anggap menodai Demokrasi kampus. Beberapa kalangan beranggapan dan terkhusus para pendukung dari Dr. Wardihan bahwa suara menteri sangat tidak mempertimbangkan hasil suara dari anggota Senat Unhas yang menempatkan Dr. wardihan di urutan pertama sedangkan suara menteri bulat atau dominan kepada Prof Dwia. Pada pemilihan putaran Di bulan Desember 2013 Dr. Wardihan Unggul 94 Suara, Prof Dwia 80 suara sementara Prof. Irawan 48 Suara. Oleh karena itu Suara Menteri sangat berperan besar dalam Pemilihan Rektor yang menempatkan Prof Dwia sebagai Rektor terpilih

Campur tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dalam pemilihan Rektor/Ketua/Direktur Perguruan Tinggi Negeri/Sekolah Tinggi/Akademi/Politeknik yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang tertuang dalam Permendiknas Nomor 24 tahun 2010. 
Dinamika pemilihan rektor seperti ini bukan di Unhas pertama kali terjadi  yang menempatkan peraih suara terbanyak kedua di Anggota Senat sebagai pemenang di karenakan suara 35% Suara Menteri. Pernah Pula terjadi di beberapa Universitas Di Indonesia.

Sejumlah kalangan kemudian berpendapat mengenai hasil pemilihan rektor Unhas, ada yang sepakat adapula yang menolak. Menurut hemat saya sendiri, bahwa menggugat peraturan tentang 35% suara menteri sebelum pemilihan adalah sesuatu yang wajar saja, tetapi jika menggugat peraturan 35% suara menteri pasca pemilihan justru hanya menggambarkan ketidakkebesaran hati untuk menerima kekalahan. terlebih yang menjadi motor penggerak gugatan ini adalah salah satu Guru Besar Fakultas Hukum di Unhas. akhirnya muncul pandangan bahwa tidak salah peraturan itu di gugat tetapi waktunya yang salah.

Pemilihan Rektor dan Politik Kampus

Mendikbud Mohammad Nuh pernah  mengatakan, dalam mendistribusikan 35 persen suara pemerintah yang diwakili Mendikbud, ada tiga opsi, yakni memberikan semua suara kepada salah seorang calon, membagi sama rata, dan membagi sesuai proporsi. Ketika mendukung seorang calon, pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek, dari rekam jejak, visi, misi, program kerja, prestasi, hingga aksesibilitas di kalangan internal dan wilayah.
Tentunya salah satu hal positif jika peratutan 35% suara menteri dalam pemilihan rektor di cabut yaitu murninya otonomi perguruan tinggi akan tetapi tetap mempunyai dampak negatif yaitu dekatnya kampus pertarungan politik ala Pilkada yang menggunakan segala cara untuk jadi pemenang tanpa memperhatikan lagi integritas dan kapabilitas dari calon pemimpinnya.
Tentu saja Pemerintah sebagai penyelenggara dan penanggung jawab terhadap sistem pendidikan di Indonesia dalam hal ini perguruan tinggi tidak akan serta merta melepaskan Perguruan tinggi untuk mengurusi segala urusan kampusnya mulai dari hal kecil sampai besar karena segala yang terjadi dan dicapai oleh Perguruan Tinggi berimplikasi terhadapat Pemerintah dalam hal ini Kementerian pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu kebijakan 35% suara menteri di anggap masih relevan untuk dilaksanakan sejauh kebijakan tersebut disalurkan secara bijaksana dan objektif.
Terkait dengan pemilihan Rektor Unhas, memunculkan banyak gonjang ganjing di kalangan Dosen, Mahasiswa, dan masyarakat. Mulai dari Prof Dwia yang merupakan Ipar dari Jusuf Kalla (Mantan Wakil Presiden Indonesia) yang selalu dikait-kaitkan dengan pengaruh dari Figur Yusuf Kalla di perpolitikan Nasional untuk bisa mendapatkan Suara Menteri kepada Iparnya. Rektor dari kalangan Medis yang memunculkan anggapan bahwa Sektor Pembangunan infrastruktur di Unhas hanya terpusat di wilayah Medis, serta mencari penerus rektor yang siap menjalankan visi jangka panjang Unhas.
Di Luar dari hasil pemilihan tersebut, ada satu hal yang sedikit menggelitik mengenai pernyataan rektor Unhas yaitu Di antara 2 suara tidak sah, salah satunya adalah suaranya. Beliau mengatakan bahwa mencoblos ke tiganya karena hati nuraninya berat untuk memilih salah satunya.
Tentunya hal ini bisa menjadi contoh buruk akan partisipasi politik dan kemapanan seseorang dalam menentukan pilihan politik. Karena Seyogianya orang yang lahir dari kampus tempatnya benih-benih intelektual lahir dan berkembang bisa menentukan pilihan rasional untuk 1 orang. Bayangkan Jikalau sebagian besar anggota Senat berpikiran sama dengan Rektor tercinta, angka Golput akan semakin besar yang berakibat legalitas secara politik dari pemimpin terpilih menjadi lemah. Jadi jangan salah jika dalam konteks Indonesia partisipasi politik sangat kurang, di kampus saja Seorang Guru besar masih belum bisa menentukan pilihan politiknya secara rasional untuk seseorang.

Unhas dan Visi jangka panjangnya

Rektor baru telah terpilih dan akan dilantik pada bulan April. Unhas dengan visi jangka panjang sesuai dengan rapat kerja Pusat Unggulan Dalam Pengembangan Insani, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Seni dan Budaya Berbasis Benua Maritim Indonesia. Yang lagi-lagi masih menimbulkan ambigu akan makna maritim yang dimaksudkan.
Tapi yang menjadi tugas dari sebuah perguruan tinggi adalah bagaimana melahirkan orang-orang yang betul-betul siap untuk berkentribusi positif untuk bangsa dan negara serta siap untuk melakukan perubahan di tengah buruknya kondisi kenegaraan.

Semua masalah yang terjadi di Unhas mulai dari masalah Kemahasiswaan, Infrastruktur, Kualitas Dosen, Sistem pembelajaran, Akademik dan sebagainya menjadi Pekerjaan Rumah yang cukup besar bagi Rektor terpilih demi membuktikan Akreditasi "A' yang melekat pada Univesitas Hasanuddin bukan sekedar Label di atas kertas tapi betul tercermin dari kualitas A seluruh Civitas Akademika Universitas Hasanuddin. Iklim Akademik dan Kemahasiswaan harus menjadi pondasi, bukan menjadi dua hal yang selalu dipertentangkan satu sama lain. Akhir kata selamat untuk Rektor terpilih, Jabatan adalah tanggung jawab dan dekat dengan dosa. Mari bersama membangun Bangsa dan Negara dari Unhas dan mari saling membuka diri untuk menerima kritik dan saran.

0 komentar to “Rektor Perempuan Pertama Unhas dan 35% Suara Menteri Pendidikan ”

Posting Komentar